Kehadiran seorang putra memang sangat membahagiakan
bagi orang tua, apa lagi putra pertama. Tiga tahun berlalu, tapi itu seakan
hannya sejenak mereka bisa bergaul dan mengerti satu sama lain, setelah akad,
hanya jelang waktu lima hari dimana Lutfi harus meninggalkan belahan jiwanya
yang baru ia ikat dalam sebuah akad pernikahan, ia harus melanjutkan
pertempuranya yang tertunda, Negara jauh di dunia arab adalah tujuannya. Hari
talah berlalu, Lutfi sudah melaksanakan rutinitasnya menggeluti buku-buku
tebal, terasa berat di awal-awal waktu, seakan raganya mengajak untuk bersua
dengan sang istri, berusaha dengan sekuat tenaga menepis semua itu, HP tak ia
nyalakan di minggu pertamanya, entah ada telfon atau sms dia tak tahu,
tujuannya hanya untuk mengabdikan diri kepada ilmu Tuhan. Tak banyak ia
ketinggalan pelajaran, hari-harinya berjalan semakin normal, konsentrasinya
menyatu, hingga akhir setelah tiga tahun nilai "mumtaz" ia dapatkan,
gelar Lc ia sandang dan ia bawa untuk pulang.
Kecerahan pagi semakin lengkap dengan hadirnya
tangisan seorang bayi kecil yang sudah menyandang nama Ahmad, kopi hangat sudah
siap di meja kecil teras rumah, dengan menimang si kecil, Lutfi masih sempat
melalar hafalan al qurannya, kebiasaan di pagi hari, sebelum berangkat ia
membagikan hasil jerih payahnya di timur tengah kepada para generasi
penerusnya, lafal-lafal al Quran selalu menjadi penyegar hatinya, juga anak
kecilnya. Waktu berangkat ke medan perang telah tiba kala sang surya semakin
menampakkan keceriaannya, wajah putih bersih dengan songkok putih telah melaju
dengan jupiternya, hanya senyuman manis dari Salma dan jerit kecil Ahmad yang
mengantarkan langkahnya di setiap pagi. Burung pipit menghiasi pucuk cemara
depan rumah yang hanya dua biji itu, menyambut kedatangan sang kepala keluarga,
dua belahan hati keluar menyusul sambutan pipit setelah jupiternya berhenti.
Rumah yang tak luas, keramaian tak begitu, hanya suara adzan yang senantiasa
menemani mereka dikala subuh hari, tapi itu tak sedikit pun mengurangi keceriaan
diantara mereka, seakan kenikmatan telah begitu banyak mengisi kehidupan
mereka.
Kebutuhan hidup semakin mendesak, si kecil pun
menginjak usia yang mengharuskan orang tua bekerja lebih keras, kerjaan
sampingan mulai ditekuni oleh lulusan timur tengah itu, kegiatan mengajar pun
tak lagi penuh, ia meminta jadwal yang tak bertabrakan dengan jadwalnya di
rumah. Rumah yang menyendiri, di belakang masjid at Taqwa mereka mengarungi
nasib, meski sudah dua tahun ia tinggal di situ, tak banyak warga yang tahu akan
asal usul mereka, tidak ada yang ambil pusing, mereka pun cuek dengn semua, ada
beberapa yang tahu akan dari mana dan siapa mereka, sekedar silaturrahmi tak
pernah ia tinggalkan, mungkin seminggu sekali, atau sesempatnya. Kehidupan tak
berubah banyak, monoton, rezeki masih belum mengalir lancar, ketabahan dan
kesabaran menghadapi tantangan zaman yang selalu membanjiri hati mereka, si
kecil pun seakan tahu akan keadaan orangtuanya, kesabaran telah tertanam di
hatinya, tak pernah ia minta sesuatu yang sekiranya tak begitu penting, ia juga
lebih sering menahan keinginannya. Berstatus hanya cukup tak mengurangi
keharmonisan rumah tangganya, pula tak pernah mengurangi ketaqwaan mereka
kepada Allah, sikap selalu rendah diri sudah mendarah daging dalam jasadnya,
Salma juga bukan type wanita matre, diam dan nurut adalah cirinya.
Seiring dengan jalannya waktu, perjalanan Ahmad mulai
membutuhkan banyak bekal, tak jarang ia sedikit ragu mengatakan kepada bapaknya
ketika tagihan sekolah datang, ia tau betul akan keadaan orang tuanya, hingga
pada suatu waktu, salah satu aset dalam hidup bapaknya, sepeda Jupiter, berubah
menjadi sesosok L2 Super. Kehidupan memang berbalik, tak seperti dulu ketika
Lutfi masih menimba ilmu, semua serba tercukupi, mau apa, ingin kemana, asal
baik tujuannya, selalu ia dapatkan, tapi tak begitu sekarang, semua serba
bekerja keras, tekad Lutfi untuk membina rumah tangga dengan cucuran
keringatnya sendiri telah merubah segalanya, beruntung istri yang setia dan
sholeha selalu ada disampingnya, yang rela diajak menapaki jalan terjal yang
berliku menuju ridlo Ilahi. Kesulitan demi kesulitan terlewati, mayoritas
berurusan dengan uang, tapi tak pernah ada yang keberatan dari mereka untuk
menjalaninya, selalu kompak untuk mencari jalan keluar dari jerat tuntutan
hidup.
"allahu akbar.. allahu akbar…" gema suara
itu lah yang selalu menjadi penghibur hati, yang selalu menyejukkan kesumpekan
dengan aral-aral yang harus terlewati dalam hidup. Suara yang dulu keluar dan
bergema dari seorang Lutfi, yang membebankan tugas mulia itu pada dirinya
sendiri, kini suara kecil meliuk-liuk indah tak lagi darinya, melainkan putra
pertamanya yang telah menjelma sebagai sosok kader sang ayah, jamaah tak lagi
seperti dulu,yang hanya dua saf dibelakang imam, itu pun sudah terhitung yang
terbanyak dalam sejarah selama Lutfi disitu waktu itu, kini masjid berpagar
hijau dari kayu itu ramai dengan para jamaah, tak dari orang-orang berumur,
anak-anak juga sudah merasakan nyamannya dalam masjid, anak muda masih beberapa
gelintir, masih banyak yang terperosok dalam perbudakan hawa nafsu mereka.
Kecerahan dalam hidup tak hanya terbayang lagi oleh mereka, keluarga yang
terdiri dari dua naggota keluarga dan satu kepala ini semakin semerbak namanya
dikalangan masyarakat, ilmu Lutfi yang selalu tercermin dalam kehidupan
sehari-harinya seakan mempunyai gravitasi menarik orang-orang disekitarnya
untuk mengetahui lebih banyak tentangnya, ia pun tak lagi sendirian di gubuk
belakan masjid itu, beberapa keluarga sudah menjadi tetangganya. Keluarga yang
terjalin karena cinta kedua belah pihak, juga restu dari kedua wali mereka,
kini telah berkembang dan akan memetik panen dari kesabaran, kegigihan dan
tawakkal mereka dalam menjalani rintangan.
Keramaian yang tumbuh di masjid itu semakin pesat, tak
disia-siakannya oleh Lutfi, ia mencoba membuka pengajian beberapa kitab fiqih
yang biasa dikaji di pondok-pondok di pulau jawa, usahanya tak hambar begitu
saja, ternyata den gan niat yang tulus mengabdi pada ilmu kepada Allah,
berbondong-bondong jamaah berdatangan ingin menimba kedalaman ilmu lulusan
timur tengah itu. Wajah berseri-seri kini telah bersahabat dengan Salma, memang
tak pernah terlihat putus asa atau galau ketika ia masih berjalan di bebatuan
dengan suaminya, tapi kecerahan sekarang begitu nampak diwajahnya, begitu asli.
Ahmad telah tumbuh dewasa, juara kecamatan, kabupaten sampai kota kabupaten ia
sabet di kancah perlombaan tilawah al qur'an, suaranya yang merdu dan tinggi
dengan nafas panjang, ia telah menjuarai cabang itu, kurang dari satu bulan ia
harus meninggalkan kedua orang tuanya untuk yang pertama kalinya, ia harus
melaksanakan amanah yang dibebankan oleh departemen agama, untuk mewakili
propinsinya unjuk kebolehan dibidang tilawatil qur'an di tingkat
nasional, kesedihan sedikit ketara diwajah Ahmad pada hari menjelang
kepergiannya, tapi tak bisa dipungkiri, rasa cemas akan berpisah dengan orang
tuanya tertutup oleh cahaya kebahagiaan di wajahnya, tak hanya dia seorang yang
merasakan hal itu, hampir seluruh sahabat, tetangga dan tentunya adalah kedua
orang yang telah membinanya, mendidiknya dan menanamkan bekal-bekal untuk
perjalananya di samudra kehidupan juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih
dari itu dengan apa yang dirasakan Lutfi.
Waktu terus bergulir, Ahmad tak lagi ada diantara
orang-orang yang begitu mencintainya, ia sudah berada di medan pertempuran
untuk menunjukkan nikmat Tuhan yang telah ia dapat. Puji syukur selalu terucap
membasahi bibir Lutfi, seakan tak percaya dengan kecemerlangan prestasi
putranya, tak ada yang menyangka sepak terjangnya melenceng jauh dari ayah dan
ibunya, tak ada dari ushulnya yang memiliki bakat sepertinya, tapi ia
selalu ingat bahwa Allah maha agung, apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi.
Hari pertama, kedua dan ketiga telah Ahmad lewati tanpa orang yang dicintainya,
hari keempat ia harus tampil, tak ada lagi yang bisa ia lakukan setelah
berlatih semampunya selain bertawakkal kepada Tuhan yang Maha Agung sebagaimana
yang ia petik dari ayahnya. Keseriusan, kegigihan dan kepasrahan Lutfi dalam
membina rumah tangga, dalam mendidik buah hatiya kini saatnya ia petik sebagian
dari hasilnya, Salma juga tak lepas begitu saja dari pencapaian anaknya itu,
wanita yang menikah dengan wali adalah adik laki-lakinya itu selalu membubuhkan
rasa percaya diri dalam syakhsiyah Ahmad. Lagi, lagi dan lagi, kejuaraan
telah tersiar di televisi swasta, wajah yang tak asing lagi muncul di layar 15
inci dengan senyum yang khas, memegang sebuah piala kuning dengan air mata
kebahagiaan menetes membasahi pipinya, tak lain itu adalah putranya, sontak
Lutfi menunduk hingga bersujud, bersyukur atas karunia yang telah diberikan
Allah padanya, nonton bersama dirumah tetangganya itu penuh dengan suasana haru
dan bangga terhadap Ahmad. Rasa terima kasih kepada Tuhan dan kedua orangtuanya,
juga orang-orang yang telah ikut andil dalam kehidupannya, terucap lembut dari
bibir Ahmad saat memberikan sambutan di podium, di tangerang yang disitulah
ajang adu gengsi antar propinsi itu digelar.
Buah dari jerih payah dan tawakkal, kini benar-benar
mulai bisa mereka petik hasilnya, Ahmad telah berada di pesantren, sering ia
harus meninggalkan pelajaran untuk mewakili pesantrennya. Baru satu tahun lebih
sedikit, ia sudah bisa membagikan ilmunya kepada orang lain, anak-anak, pula
orang yang umurnya berada diatasnya berebut untuk bisa menimba ilmu padanya,
tapi selalu ia sadar bahwa itu adalah titipan dan cobaan, selalu ia
mengembalikan kesuksesan itu karena kehendak Ilahi, tak pernah ia menyombongkan dirinya dengan
prestasinya, persis seperti bapaknya, ramah dan rendah hati menghiasi jiwanya.
Turnamen
demi turnamen telah ia jajaki, dari yang local sampai go international, Turki
adalah tempatnya, bersaing dengan kader yang datang dari berbagai penjuru
dunia, bukan lagi hanya kader negaranya, tapi dunia. Memang tak mudah baginya
untuk menunjukkan kemampuannya, cobaan demi cobaan ia lewati, dari hari pertama
ia menginjakkan kaki di negeri orang itu langsung diserang ppenyakit diare,
mungkin hawanya yang terlalu dingin waktu itu, sehingga ia harus berhenti
sementara berlatih. Hanya empat orang yang mendampinginya, salah satunya adalah
ayahnya sendiri, Ahmad tak begitu menguasai bahasa daerah situ, tapi ayahnya
tak tinggal diam, pengalamannya di timur tengah masih terus ia tanamkan pula di
benak putranya, ya meskipun timur tengah yang dulu ia singgahi bukanlah tempat
yang sekarang ia berada, tapi tak jauh beda peradaban-peradabannya, bahasanya
pun mungkin yang beda hanya bahasa pasaran atau amiah.
Satu
minggu delegasi garuda itu disana, giliran Ahmad pun untuk ke podium kian
dekat, tinggal hanya menghitung jam, malam itu pula ia harus memaksimalkan
kemampuannya. Ayah dan kedua gurunya selalu ada dibelakangnya memotivasi Ahmad,
demi menghilangkan rasa takut dan grogi di dadanya. Hari itu tiba, jam yang ditentukan
dewan juri pun sampai, aturan permainan telah dibacakan, Ahmad telah siap
dengan jubah putih dan sebuah surban putih pula terikat rapi dikepalanya, ya
itulah pakaian adat arab, meski masih satu kali Ahmad memakai pakaian itu, tapi
taka da masalah. Suara seperti biasanya ketika ia unjuk gigi di tingkat
nasional, hanya sedikit berbeda dengan cengkok lagunya, sedikit ia permak
sepertinya, tapi tak ada yang hawatir akan Ahmad, yang lagi di tanah air masih
terjaga meski jam menunjukkan pukul 1 dini hari, hanya satu televisi yang
menayangkan lomba akbar itu, tapi itu cukaup untuk memantau perkembangan buah
hati bagi sang ibu, duduk diurutan paling depan, mata pun tak sering berkedip,
bibir masih dengan ucapan-ucapan sholawat agar putranya maksimal, meski tak
dapat juara, tapi tampil dihadapan ribuan ulama dunia adalah sudah sebuah
anugrah yang tak terkira.
Usai
sudah, perlombaan telah selesai, semua cabang berlalu, untuk kejuaraan akan
diumumkan beberapa hari lagi, tak lagi rombongan garuda menunggu, langsung
mereka pulang, karena cuaca dan iklim yang tak kuasa untuk pertahanan tubuh has
asia, memaksa mereka harus memutuskan pulang. Hujan tak hanya air biasa, tiga
hari sekali selalu ada es atau salju yang turun membasahi tanah turki, menambah
tubuh menggigil tak karuan, panasnya suhu tubuh kadang tak mampu mengimbangi
dinginnya angin diluar sana. Hari kedua setelah lomba usai, pesawat menuju
Indonesia telah terbang, berharap sampai
tanah air dengan selamat dan kabar gembira untuk ibu tercinta.
Rabu
pagi jadwal sampainya Ahmad dan rombongan, keluarga dirumah sudah siap dengan
sambutan yang ,eriah, menyambut sang panglima, berbagai pondok yang pernah ia
singgahi juga ukut andil dalam mengutus beberapa santri untuk membantu
persiapan di rumah Ahmad. Pukul 11 siang selesai persiapan, tinggal menunggu
datangnya ayah dan anak yang keduanya membanggakan orang sekitarnya, informasi
akan sampainya mereka ke tanah air telah tersiar luas di seantero kotanya, juga
kota dulu dimana ia menuntut ilmu. Kebahagiaan telah terpancar dalam setiap
paras orang-orang yang telah bersiap akan menyambutnya, kabar akan sampai
tinggal beberapa jam, dan mungkin pasti akan sampai. Pukul lima sore, sesuatu
yang sangat tak diinginkan oleh keluarga Ahmad, pula untuk orang-orang yang
telah merasakan kesejukan hatinya, mobil yang dikendarai Ahmad kecelakaan,
begitu kabar dari officialnya, ayahnya tiadak apa-apa, maksudnya masih selamat,
tapi Ahmad kini tebujur tak betenaga penuh dengan darah, entah akan tertolong
nyawanya atau akan pergi meninggalkan orang-orang di sekitarnya.
Lebih
dari 3 jam Ahmad tak sadarkan diri, masih di ruang ICU, tak semua orang bisa
melihat keadaan Ahmad, silih berganti masuk ingin melihat keadaannya, dan sama
saja, masih ta ada tanda dia akan kembali di tengah-tengah meeka. Suasana yang
begitu mengacaukan semuanya, dana yang tak kecil untuk penyambutan tak ada
artinya kala kehendak Tuhan lain, hanya pasrah dan tawakkal yang bisa
dilakukan, ibu dan ayahnya masih terdiam tak bisa apa-apa kecuali memohon
kepada yang Maha Kuasa. Perban putih di kepala Lutfi sudah tak jadi pusat
konsentrasinya, lebih terforsir kepada putra emasnya, tapi benar-benar jawaban
Tuhan pasti, cobaan adalah jawaban dari semua ketegangan mereka menunggu
kelanjutan keadaan Ahmad. Seorang dikter keluar dari ruang dimana ahmad
berbaring lemah, dan kalimat tiu benar-benar tak bisa ditolak, oleh siapapun,
dan semua juga sudah jelas tahu dan menyadari "inna lillahi wa inna ilaihi
riji'un" begitu kalimat yang keluar dari bibir dokter Huda.
Tiga
hari setelah hari usai lomba, dimana kejuaraan lomba tilawatul qur'an
diumumkan, TV swasta masih tetap menyala, menunggu siapa yang akan keluar jadi
dambaan bangsa dan umatnya masing-masing. Kediaman Lutfi masih benuh dengan
kabungan kesedihan, istrinya masih trauma, tak mau melihat acara itu lagi,
hanya Lutfi mencoba ingin tahu minimal siapa yang ada dirutan tiga pertama.
Nama Jibril Ahmad Yasir dari Pakistan menempati urutan pertama, menunggu urutan
berikutnya agak lama, beberapa menit masih belum muncul, sepertinya ada yang
beda dalam raut muka sang pembaca, "inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,
allahummaghfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu anhu, tuwuffia yaumil amsi, Ahmad
Lutfi Humaidy al jawy, wa huwal faiz roqm tsani fi hadzihil musabaqah".
Begitu sedikit mengobati duka atas kepergian sang empu nama itu, kebanggaan
akan pencapaiannya telah membuat orang-orang semasanya ternganga kagum, tapi
sayang kini tinggal kenangan, semoga dia diterima disisi Allah dan diampuni
segala dosanya.