Selasa, 08 Mei 2012

RAJAWALI



Kehadiran seorang putra memang sangat membahagiakan bagi orang tua, apa lagi putra pertama. Tiga tahun berlalu, tapi itu seakan hannya sejenak mereka bisa bergaul dan mengerti satu sama lain, setelah akad, hanya jelang waktu lima hari dimana Lutfi harus meninggalkan belahan jiwanya yang baru ia ikat dalam sebuah akad pernikahan, ia harus melanjutkan pertempuranya yang tertunda, Negara jauh di dunia arab adalah tujuannya. Hari talah berlalu, Lutfi sudah melaksanakan rutinitasnya menggeluti buku-buku tebal, terasa berat di awal-awal waktu, seakan raganya mengajak untuk bersua dengan sang istri, berusaha dengan sekuat tenaga menepis semua itu, HP tak ia nyalakan di minggu pertamanya, entah ada telfon atau sms dia tak tahu, tujuannya hanya untuk mengabdikan diri kepada ilmu Tuhan. Tak banyak ia ketinggalan pelajaran, hari-harinya berjalan semakin normal, konsentrasinya menyatu, hingga akhir setelah tiga tahun nilai "mumtaz" ia dapatkan, gelar Lc ia sandang dan ia bawa untuk pulang.
Kecerahan pagi semakin lengkap dengan hadirnya tangisan seorang bayi kecil yang sudah menyandang nama Ahmad, kopi hangat sudah siap di meja kecil teras rumah, dengan menimang si kecil, Lutfi masih sempat melalar hafalan al qurannya, kebiasaan di pagi hari, sebelum berangkat ia membagikan hasil jerih payahnya di timur tengah kepada para generasi penerusnya, lafal-lafal al Quran selalu menjadi penyegar hatinya, juga anak kecilnya. Waktu berangkat ke medan perang telah tiba kala sang surya semakin menampakkan keceriaannya, wajah putih bersih dengan songkok putih telah melaju dengan jupiternya, hanya senyuman manis dari Salma dan jerit kecil Ahmad yang mengantarkan langkahnya di setiap pagi. Burung pipit menghiasi pucuk cemara depan rumah yang hanya dua biji itu, menyambut kedatangan sang kepala keluarga, dua belahan hati keluar menyusul sambutan pipit setelah jupiternya berhenti. Rumah yang tak luas, keramaian tak begitu, hanya suara adzan yang senantiasa menemani mereka dikala subuh hari, tapi itu tak sedikit pun mengurangi keceriaan diantara mereka, seakan kenikmatan telah begitu banyak mengisi kehidupan mereka.
Kebutuhan hidup semakin mendesak, si kecil pun menginjak usia yang mengharuskan orang tua bekerja lebih keras, kerjaan sampingan mulai ditekuni oleh lulusan timur tengah itu, kegiatan mengajar pun tak lagi penuh, ia meminta jadwal yang tak bertabrakan dengan jadwalnya di rumah. Rumah yang menyendiri, di belakang masjid at Taqwa mereka mengarungi nasib, meski sudah dua tahun ia tinggal di situ, tak banyak warga yang tahu akan asal usul mereka, tidak ada yang ambil pusing, mereka pun cuek dengn semua, ada beberapa yang tahu akan dari mana dan siapa mereka, sekedar silaturrahmi tak pernah ia tinggalkan, mungkin seminggu sekali, atau sesempatnya. Kehidupan tak berubah banyak, monoton, rezeki masih belum mengalir lancar, ketabahan dan kesabaran menghadapi tantangan zaman yang selalu membanjiri hati mereka, si kecil pun seakan tahu akan keadaan orangtuanya, kesabaran telah tertanam di hatinya, tak pernah ia minta sesuatu yang sekiranya tak begitu penting, ia juga lebih sering menahan keinginannya. Berstatus hanya cukup tak mengurangi keharmonisan rumah tangganya, pula tak pernah mengurangi ketaqwaan mereka kepada Allah, sikap selalu rendah diri sudah mendarah daging dalam jasadnya, Salma juga bukan type wanita matre, diam dan nurut adalah cirinya.
Seiring dengan jalannya waktu, perjalanan Ahmad mulai membutuhkan banyak bekal, tak jarang ia sedikit ragu mengatakan kepada bapaknya ketika tagihan sekolah datang, ia tau betul akan keadaan orang tuanya, hingga pada suatu waktu, salah satu aset dalam hidup bapaknya, sepeda Jupiter, berubah menjadi sesosok L2 Super. Kehidupan memang berbalik, tak seperti dulu ketika Lutfi masih menimba ilmu, semua serba tercukupi, mau apa, ingin kemana, asal baik tujuannya, selalu ia dapatkan, tapi tak begitu sekarang, semua serba bekerja keras, tekad Lutfi untuk membina rumah tangga dengan cucuran keringatnya sendiri telah merubah segalanya, beruntung istri yang setia dan sholeha selalu ada disampingnya, yang rela diajak menapaki jalan terjal yang berliku menuju ridlo Ilahi. Kesulitan demi kesulitan terlewati, mayoritas berurusan dengan uang, tapi tak pernah ada yang keberatan dari mereka untuk menjalaninya, selalu kompak untuk mencari jalan keluar dari jerat tuntutan hidup.
"allahu akbar.. allahu akbar…" gema suara itu lah yang selalu menjadi penghibur hati, yang selalu menyejukkan kesumpekan dengan aral-aral yang harus terlewati dalam hidup. Suara yang dulu keluar dan bergema dari seorang Lutfi, yang membebankan tugas mulia itu pada dirinya sendiri, kini suara kecil meliuk-liuk indah tak lagi darinya, melainkan putra pertamanya yang telah menjelma sebagai sosok kader sang ayah, jamaah tak lagi seperti dulu,yang hanya dua saf dibelakang imam, itu pun sudah terhitung yang terbanyak dalam sejarah selama Lutfi disitu waktu itu, kini masjid berpagar hijau dari kayu itu ramai dengan para jamaah, tak dari orang-orang berumur, anak-anak juga sudah merasakan nyamannya dalam masjid, anak muda masih beberapa gelintir, masih banyak yang terperosok dalam perbudakan hawa nafsu mereka. Kecerahan dalam hidup tak hanya terbayang lagi oleh mereka, keluarga yang terdiri dari dua naggota keluarga dan satu kepala ini semakin semerbak namanya dikalangan masyarakat, ilmu Lutfi yang selalu tercermin dalam kehidupan sehari-harinya seakan mempunyai gravitasi menarik orang-orang disekitarnya untuk mengetahui lebih banyak tentangnya, ia pun tak lagi sendirian di gubuk belakan masjid itu, beberapa keluarga sudah menjadi tetangganya. Keluarga yang terjalin karena cinta kedua belah pihak, juga restu dari kedua wali mereka, kini telah berkembang dan akan memetik panen dari kesabaran, kegigihan dan tawakkal mereka dalam menjalani rintangan.
Keramaian yang tumbuh di masjid itu semakin pesat, tak disia-siakannya oleh Lutfi, ia mencoba membuka pengajian beberapa kitab fiqih yang biasa dikaji di pondok-pondok di pulau jawa, usahanya tak hambar begitu saja, ternyata den gan niat yang tulus mengabdi pada ilmu kepada Allah, berbondong-bondong jamaah berdatangan ingin menimba kedalaman ilmu lulusan timur tengah itu. Wajah berseri-seri kini telah bersahabat dengan Salma, memang tak pernah terlihat putus asa atau galau ketika ia masih berjalan di bebatuan dengan suaminya, tapi kecerahan sekarang begitu nampak diwajahnya, begitu asli. Ahmad telah tumbuh dewasa, juara kecamatan, kabupaten sampai kota kabupaten ia sabet di kancah perlombaan tilawah al qur'an, suaranya yang merdu dan tinggi dengan nafas panjang, ia telah menjuarai cabang itu, kurang dari satu bulan ia harus meninggalkan kedua orang tuanya untuk yang pertama kalinya, ia harus melaksanakan amanah yang dibebankan oleh departemen agama, untuk mewakili propinsinya unjuk kebolehan dibidang tilawatil qur'an di tingkat nasional, kesedihan sedikit ketara diwajah Ahmad pada hari menjelang kepergiannya, tapi tak bisa dipungkiri, rasa cemas akan berpisah dengan orang tuanya tertutup oleh cahaya kebahagiaan di wajahnya, tak hanya dia seorang yang merasakan hal itu, hampir seluruh sahabat, tetangga dan tentunya adalah kedua orang yang telah membinanya, mendidiknya dan menanamkan bekal-bekal untuk perjalananya di samudra kehidupan juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih dari itu dengan apa yang dirasakan Lutfi.
Waktu terus bergulir, Ahmad tak lagi ada diantara orang-orang yang begitu mencintainya, ia sudah berada di medan pertempuran untuk menunjukkan nikmat Tuhan yang telah ia dapat. Puji syukur selalu terucap membasahi bibir Lutfi, seakan tak percaya dengan kecemerlangan prestasi putranya, tak ada yang menyangka sepak terjangnya melenceng jauh dari ayah dan ibunya, tak ada dari ushulnya yang memiliki bakat sepertinya, tapi ia selalu ingat bahwa Allah maha agung, apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi. Hari pertama, kedua dan ketiga telah Ahmad lewati tanpa orang yang dicintainya, hari keempat ia harus tampil, tak ada lagi yang bisa ia lakukan setelah berlatih semampunya selain bertawakkal kepada Tuhan yang Maha Agung sebagaimana yang ia petik dari ayahnya. Keseriusan, kegigihan dan kepasrahan Lutfi dalam membina rumah tangga, dalam mendidik buah hatiya kini saatnya ia petik sebagian dari hasilnya, Salma juga tak lepas begitu saja dari pencapaian anaknya itu, wanita yang menikah dengan wali adalah adik laki-lakinya itu selalu membubuhkan rasa percaya diri dalam syakhsiyah Ahmad. Lagi, lagi dan lagi, kejuaraan telah tersiar di televisi swasta, wajah yang tak asing lagi muncul di layar 15 inci dengan senyum yang khas, memegang sebuah piala kuning dengan air mata kebahagiaan menetes membasahi pipinya, tak lain itu adalah putranya, sontak Lutfi menunduk hingga bersujud, bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah padanya, nonton bersama dirumah tetangganya itu penuh dengan suasana haru dan bangga terhadap Ahmad. Rasa terima kasih kepada Tuhan dan kedua orangtuanya, juga orang-orang yang telah ikut andil dalam kehidupannya, terucap lembut dari bibir Ahmad saat memberikan sambutan di podium, di tangerang yang disitulah ajang adu gengsi antar propinsi itu digelar.
Buah dari jerih payah dan tawakkal, kini benar-benar mulai bisa mereka petik hasilnya, Ahmad telah berada di pesantren, sering ia harus meninggalkan pelajaran untuk mewakili pesantrennya. Baru satu tahun lebih sedikit, ia sudah bisa membagikan ilmunya kepada orang lain, anak-anak, pula orang yang umurnya berada diatasnya berebut untuk bisa menimba ilmu padanya, tapi selalu ia sadar bahwa itu adalah titipan dan cobaan, selalu ia mengembalikan kesuksesan itu karena kehendak Ilahi,  tak pernah ia menyombongkan dirinya dengan prestasinya, persis seperti bapaknya, ramah dan rendah hati menghiasi jiwanya.
Turnamen demi turnamen telah ia jajaki, dari yang local sampai go international, Turki adalah tempatnya, bersaing dengan kader yang datang dari berbagai penjuru dunia, bukan lagi hanya kader negaranya, tapi dunia. Memang tak mudah baginya untuk menunjukkan kemampuannya, cobaan demi cobaan ia lewati, dari hari pertama ia menginjakkan kaki di negeri orang itu langsung diserang ppenyakit diare, mungkin hawanya yang terlalu dingin waktu itu, sehingga ia harus berhenti sementara berlatih. Hanya empat orang yang mendampinginya, salah satunya adalah ayahnya sendiri, Ahmad tak begitu menguasai bahasa daerah situ, tapi ayahnya tak tinggal diam, pengalamannya di timur tengah masih terus ia tanamkan pula di benak putranya, ya meskipun timur tengah yang dulu ia singgahi bukanlah tempat yang sekarang ia berada, tapi tak jauh beda peradaban-peradabannya, bahasanya pun mungkin yang beda hanya bahasa pasaran atau amiah.
Satu minggu delegasi garuda itu disana, giliran Ahmad pun untuk ke podium kian dekat, tinggal hanya menghitung jam, malam itu pula ia harus memaksimalkan kemampuannya. Ayah dan kedua gurunya selalu ada dibelakangnya memotivasi Ahmad, demi menghilangkan rasa takut dan grogi di dadanya. Hari itu tiba, jam yang ditentukan dewan juri pun sampai, aturan permainan telah dibacakan, Ahmad telah siap dengan jubah putih dan sebuah surban putih pula terikat rapi dikepalanya, ya itulah pakaian adat arab, meski masih satu kali Ahmad memakai pakaian itu, tapi taka da masalah. Suara seperti biasanya ketika ia unjuk gigi di tingkat nasional, hanya sedikit berbeda dengan cengkok lagunya, sedikit ia permak sepertinya, tapi tak ada yang hawatir akan Ahmad, yang lagi di tanah air masih terjaga meski jam menunjukkan pukul 1 dini hari, hanya satu televisi yang menayangkan lomba akbar itu, tapi itu cukaup untuk memantau perkembangan buah hati bagi sang ibu, duduk diurutan paling depan, mata pun tak sering berkedip, bibir masih dengan ucapan-ucapan sholawat agar putranya maksimal, meski tak dapat juara, tapi tampil dihadapan ribuan ulama dunia adalah sudah sebuah anugrah yang tak terkira.
Usai sudah, perlombaan telah selesai, semua cabang berlalu, untuk kejuaraan akan diumumkan beberapa hari lagi, tak lagi rombongan garuda menunggu, langsung mereka pulang, karena cuaca dan iklim yang tak kuasa untuk pertahanan tubuh has asia, memaksa mereka harus memutuskan pulang. Hujan tak hanya air biasa, tiga hari sekali selalu ada es atau salju yang turun membasahi tanah turki, menambah tubuh menggigil tak karuan, panasnya suhu tubuh kadang tak mampu mengimbangi dinginnya angin diluar sana. Hari kedua setelah lomba usai, pesawat menuju Indonesia telah terbang,  berharap sampai tanah air dengan selamat dan kabar gembira untuk ibu tercinta.
Rabu pagi jadwal sampainya Ahmad dan rombongan, keluarga dirumah sudah siap dengan sambutan yang ,eriah, menyambut sang panglima, berbagai pondok yang pernah ia singgahi juga ukut andil dalam mengutus beberapa santri untuk membantu persiapan di rumah Ahmad. Pukul 11 siang selesai persiapan, tinggal menunggu datangnya ayah dan anak yang keduanya membanggakan orang sekitarnya, informasi akan sampainya mereka ke tanah air telah tersiar luas di seantero kotanya, juga kota dulu dimana ia menuntut ilmu. Kebahagiaan telah terpancar dalam setiap paras orang-orang yang telah bersiap akan menyambutnya, kabar akan sampai tinggal beberapa jam, dan mungkin pasti akan sampai. Pukul lima sore, sesuatu yang sangat tak diinginkan oleh keluarga Ahmad, pula untuk orang-orang yang telah merasakan kesejukan hatinya, mobil yang dikendarai Ahmad kecelakaan, begitu kabar dari officialnya, ayahnya tiadak apa-apa, maksudnya masih selamat, tapi Ahmad kini tebujur tak betenaga penuh dengan darah, entah akan tertolong nyawanya atau akan pergi meninggalkan orang-orang di sekitarnya.
Lebih dari 3 jam Ahmad tak sadarkan diri, masih di ruang ICU, tak semua orang bisa melihat keadaan Ahmad, silih berganti masuk ingin melihat keadaannya, dan sama saja, masih ta ada tanda dia akan kembali di tengah-tengah meeka. Suasana yang begitu mengacaukan semuanya, dana yang tak kecil untuk penyambutan tak ada artinya kala kehendak Tuhan lain, hanya pasrah dan tawakkal yang bisa dilakukan, ibu dan ayahnya masih terdiam tak bisa apa-apa kecuali memohon kepada yang Maha Kuasa. Perban putih di kepala Lutfi sudah tak jadi pusat konsentrasinya, lebih terforsir kepada putra emasnya, tapi benar-benar jawaban Tuhan pasti, cobaan adalah jawaban dari semua ketegangan mereka menunggu kelanjutan keadaan Ahmad. Seorang dikter keluar dari ruang dimana ahmad berbaring lemah, dan kalimat tiu benar-benar tak bisa ditolak, oleh siapapun, dan semua juga sudah jelas tahu dan menyadari "inna lillahi wa inna ilaihi riji'un" begitu kalimat yang keluar dari bibir dokter Huda.
Tiga hari setelah hari usai lomba, dimana kejuaraan lomba tilawatul qur'an diumumkan, TV swasta masih tetap menyala, menunggu siapa yang akan keluar jadi dambaan bangsa dan umatnya masing-masing. Kediaman Lutfi masih benuh dengan kabungan kesedihan, istrinya masih trauma, tak mau melihat acara itu lagi, hanya Lutfi mencoba ingin tahu minimal siapa yang ada dirutan tiga pertama. Nama Jibril Ahmad Yasir dari Pakistan menempati urutan pertama, menunggu urutan berikutnya agak lama, beberapa menit masih belum muncul, sepertinya ada yang beda dalam raut muka sang pembaca, "inna lillahi wa inna ilaihi roji'un, allahummaghfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu anhu, tuwuffia yaumil amsi, Ahmad Lutfi Humaidy al jawy, wa huwal faiz roqm tsani fi hadzihil musabaqah". Begitu sedikit mengobati duka atas kepergian sang empu nama itu, kebanggaan akan pencapaiannya telah membuat orang-orang semasanya ternganga kagum, tapi sayang kini tinggal kenangan, semoga dia diterima disisi Allah dan diampuni segala dosanya.