SAHABAT COKELAT
Cerpen Rafael Stefan Lawalata
“Irama! Sudah hampir setengah jam kamu di dalam! Ayo cepat!”
terdengar suara seorang wanita yang menggelegar di telingaku. Tidak asing lagi
pemilik suara “petir” di pagi hari itu, tak lain adalah ibuku. Ibu memang suka
sekali bernyanyi setiap pagi, ketika membangunkanku, memanggilku untuk sarapan,
atau ketika aku lama di dalam kamar mandi.
Memang, tak terasa waktu yang kuhabiskan ketika aku berada dalam kamar mandi.
Segera aku membilas diri, sambil tetap bernyanyi dan dalam hitungan detik aku
sudah berjalan menuju kamar. “Cepat sedikit! Kamu belum sarapan juga!”
menggelegar kembali suara ibu dari balik pintu kamar. “Ya bu!” kataku sambil
memakai seragam putih abu-abu, hari ini hari Senin, aku harus memakai seragam
yang lengkap. Topi, dasi, sepatu hitam harus siap sedia.
Dalam hitungan menit, aku telah rapi berpakaian. Tas berisi
buku pelajaran hari ini telah siap dalam genggamanku, sebelum aku keluar kamar,
kutengok sebentar cermin di kamar. “Bercermin terus, nanti juga cerminnya
pecah!” kata seseorang di luar kamarku. “Duh, berisik kamu de! Bisanya ganggu
kakak aja,” kataku sambil keluar kamar, hendak mengejarnya namun ia telah masuk
ke kamarnya terlebih dahulu. “Bu, ade tuh!”rengekku.
“Irama! Masih di sana kamu? Sudah cepat makan rotimu! Kalian
ini, adik-kakak kenapa bertengkar terus? Nanti kalau sudah jauh, baru
kangen-kangenan.” Aku hanya tersenyum malu kepada ibu, memang aku dan adikku
tidak akur. Kami sering bertengkar. Walau ia laki-laki dan aku perempuan, tak
pernah akur rasanya. Pertengkaran kami biasanya dimulai dengan hal-hal sepele,
seperti ketika ia mengejek atau sengaja menyembunyikan barang-barang milikku.
Duh, adik seperti itu bikin gemes sekaligus kesel!
Tak sempat duduk di meja makan, aku mengambil setangkap roti bakar isi selai
cokelat buatan ibu, sebenarnya tidak cukup untuk dijadikan sarapan, tetapi apa
boleh buat, waktu mengejarku. Sambil mengunyah roti itu, aku memakai kedua
sepatuku, merapikan dasiku dan segera berlari menuju bapak yang sedang baca
koran di depan. “Pak, aku pergi dulu yah,” kataku berpamitan. “Sudah mau
berangkat? Tak bareng ademu toh?”
Aku menggelengkan kepala, “Dia masih beres-beres di kamar,” kataku menunjuk ke
dalam.
“Pamit dulu sana sama ibu.”
“Ya pak,” kataku sambil beralih kepada ibu yang sedang membawakan
secangkir kopi panas untuk ayah. “Bu, aku pergi dulu ya.”
“Rotinya sudah dimakan?” tanya ibu.
“He-eh sudah kok, aku sudah telat nih, dadah,” kataku seraya
berlari ke arah teras.
“Eh, sebentar Irama!” panggil bapak.
“Ya, kenapa pak ?”
“Ini uang jajanmu,” kata bapak sambil memberikan dua lembar
sepuluh ribuan kepadaku. “Cukup hingga makan siang kan?”
Aku mengangguk, lalu tersenyum kepada bapak dan ibu. Sungguh baik memiliki
kedua orangtua yang selalu pengertian kepada anaknya. “Dadah!” kataku
melambaikan tangan dari balik pagar. Kemudian aku mulai berlari-lari kecil dari
depan rumahku. Letak sekolahku memang tidak begitu jauh dari sekolah, hanya
terpaut sekitar 1 kilometer. Jadi setiap pagi aku berjalan kaki, terkadang
bersama adikku, atau dengan temanku, Azka namanya. “Oh ya Azka! Aku kan janjian
dengan dia untuk berangkat bareng!” kataku agak panik. Jam tanganku menunjukkan
pukul 06.42, sekitar sepuluh menit lagi sekolahku akan masuk. “Aku harus lari
pagi nih!” kataku setelah mengikat rambutku lalu mengambil start layaknya
seorang pelari. “Aku tak boleh telat! Bisa-bisa kena hukum lagi sama Bapak
Surdi!” Peraturan di sekolahku, siswa-siswi yang telat diharuskan membersihkan
lapangan sekolah dan tidak boleh masuk jam pertama. “Hari ini ulangan Fisika
juga jam pertama, aku tak boleh telat!”
Nafasku berpacu dengan langkahku, rokku yang panjang membuat laju lariku agak
terhambat, ingin rasanya aku memakai celana saja karena tidak merepotkan.
Lagi-lagi peraturan sekolah yang mewajibkanku. “Peduli amat dengan rok panjang,
yang pasti aku tak boleh telat!” Gedung sekolahku sudah terlihat, hanya tinggal
berjarak beberapa ratus meter dari gang depan. Aku mengambil nafas sebentar,
dan melihat jam tanganku kembali. Pukul 06.48. Masih ada cukup waktu, pikirku.
Ketika aku mulai berlari kembali, sesosok wajah yang kukenal lewat di depan
wajahku, yang wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku. Siswi itu berlari juga
seperti aku, hanya saja ia berlari lebih cepat karena tubuhnya yang lebih kecil
daripadaku. “Hei, Azka!” teriakku kepadanya. Ya, nama siswi itu adalah Azka,
teman sekelasku sekaligus teman rumahku. Dia adalah seorang yang cekatan,
lincah, ahli dalam berbicara. Hampir sama denganku, ia juga seorang yang cuek.
Berdasarkan kecocokan itulah, kami cepat akrab.
Azka sejenak menoleh, lalu kembali berteriak kepadaku, “Hah? Ira? Kamu juga
terlambat?” Aku berlari menghampirinya, “Terlambat? Masih ada waktu kok.” Azka
menggelengkan kepalanya, “Kau ini pelupa yah, hari ini hari Senin, upacara
tau!”
Seperti tersengat jutaan voltase listrik, aku kaget mendengar. Ya hari Senin!
Upacara akan segera dimulai, sekolah pasti masuk sepuluh menit lebih cepat.
Untuk itu tadi aku menyiapkan topi, astaga bagaimana aku bisa lupa! “Astaga!
Aku lupa Zka!” Azka memang sudah tidak terkejut lagi melihat aku yang pelupa
ini. Begitupun dia, bangun kesiangan karena semalam nonton bola bersama
ayahnya, begitulah sekiranya ia menjelaskan kepadaku. Tak berbasa-basi lagi,
kami berdua berlari menuju pintu gerbang sekolah.
Dugaanku benar. Kami berdua telat masuk pagi itu. Ketika
siswa dan siswi yang lain tengah melaksanakan upacara bendera, kami berdua dan
beberapa siswa yang terlambat berdiri di halaman depan sekolah, berbaris
menunggu hukuman yang akan diberikan. Kulihat satu persatu wajah mereka, ada
yang masih mengantuk, ada seorang siswa yang belum menyisir rambutnya, tak
pakai dasi, gesper atau bahkan lupa memakai kaos kaki. Aku hanya tertawa
sendiri saja melihat hal itu, walau aku sendiri bernasib sama seperti mereka.
Dari sekian banyak wajah yang kulihat, di barisan depan aku mengenali
seseorang. Seorang siswi berkulit sawo matang dengan rambut lurus tergerai,
siapa lagi kalau bukan teman sekelasku, Meli namanya. Dia memang langganan
terlambat, wajar saja rumahnya sangat jauh dari sekolah. Dia pernah berkata
kepadaku bahwa untuk sampai ke sekolah saja ia membutuhkan waktu sekitar satu
jam perjalanan, belum dihitung dengan macetnya. “Bakal ramai nih pagi ini!”
kataku kepada Azka yang berbaris di sebelahku, Azka sendiri hanya menatapku
bingung.
“Fiuhhh.... apa tidak ada tugas yang lebih berat selain
belajar?” kataku sambil memunguti sampah di dekat pohon bambu, di halaman depan
sekolah. “Kalau bapak ibuku melihat ini, mereka akan menangis kurasa.”
“Ya Ra, aku setuju. Masa kita disuruh mungutin sampah sih?”
lanjut Azka sejalan dengan perkataanku.
“Sudah ah Zka, aku capek! Habis lari disuruh pungutin sampah
juga!” Kataku sambil memasukkan sampah plastik dan beberapa dedaunan kering ke
dalam tempat sampah. Segera aku duduk di sebelah pohon bambu itu dan membuka
tasku, mencari saputanganku untuk menyeka keringat yang bercucuran. “Astaga!
Kita melewatkan ulangan Fisika Zka!”
Azka hanya terdiam, dia memang tidak peduli mengenai ulangan pelajaran yang
membingungkan itu. “Peduli amat sama itu Ra! Menyusul nanti juga bisa, Bu Yaya
baik ini sama kita.”
“Iya sih, Zka tapi percuma dong aku belajar semalaman...”
kataku meratapi buku paket fisika yang kupegang itu. “Lagi-lagi berdua menyusul
yah?”
“Ehem! Bertiga!” kata Meli yang tiba-tiba bergabung bersama
kami. “Kalian jahat melupakan aku!”
“Hehehe, aku lupa ada kamu Mel...” kataku.
“Eh, ngapain kamu disini? Nanti Pak Surdi tau lho kita gak
ngambilin sampah,” jawab Azka yang kini turut duduk di sebelahku.
“Sudah tenang saja,” jelas Meli. “Pak Surdi gak bisa lihat
kita disini, tuh dia berdiri di sana, terlalu jauh untuk melihat kita di ujung
sini.” Lalu setelah merasa aman untuk berbincang, kami bertiga sudah larut
dalam pembicaraan ala remaja putri.
Tidak terasa hari Senin itu berlalu dengan cepat, bel berbunyi nyaring seakan
menyegarkan pikiranku dari pelajaran yang rumit. Ingin segera aku merebahkan
diri pada kasur tempat tidurku, menikmati segelas es teh manis dan membaca
majalah favoritku, namun sekali lagi aku harus memacu otakku di siang hari yang
panas itu. Kami bertiga harus mengikuti ulangan susulan Fisika siang itu juga,
bertempat di ruang guru. Untung saja aku sudah belajar, entah dengan kedua
temanku itu. Kami duduk berjauhan dalam ruang guru, dengan mata Bu Yaya
mengawasi gerak-gerik kami. Setelah setengah jam berlalu, selesai sudah aku
berkelut dengan soal-soal Fisika. Azka dan Meli pun mengumpulkan soal mereka
beberapa menit setelah aku. Lalu kami berjalan pulang bersama, Aku dan Azka
meneruskannya dengan berjalan kaki sementara Meli segera menuju motornya di
parkiran sekolah.
“Zka, daritadi kok aku tidak lihat Adel ya?” kataku memulai
pembicaraan.
“Entahlah,” jawab Azka mengangkat bahunya. “Setahuku dia
masuk kok, kalau gak salah dia tadi dijemput sama supirnya.”
“Sekarang dia sibuk yah,” sambungku, “Kalo ingat dulu kita
suka main sama-sama rasanya kangen deh.”
“Itu sudah 2 tahun lalu Ra, sekarang kita sudah kelas 3,
sudah punya kesibukan masing-masing.” Memang benar, kami ber-empat sudah
merupakan teman sejak kelas 1 SMA. Saat itu kami masih lucu-lucunya bila
dibandingkan sekarang. Temanku yang seorang lagi bernama Adelia, aku biasa
memanggilnya dengan Adel.
Kami ber-empat cukup eksis di sekolah, bukan karena hal buruk lho. Kami ber-empat
adalah siswi-siswi yang telah mengharumkan nama baik sekolah, mulai dari Adel
yang jago renang; dia adalah seorang atlit renang dan telah memenangkan tiga
kompetisi besar sampai saat ini, dan meraih dua emas dan satu perak di
antaranya, dia juga jago bermain piano. Kemudian, Meli, walau sekilas dia
terlihat biasa saja, sebenarnya dia itu mengikuti olimpiade debat bahasa
Inggris dan sudah dua kali membawa nama baik sekolah kami hingga ke tingkat
provinsi. Lalu Azka, selain dia yang paling “tomboi” di antara kami, Azka yang
seorang atlit karate juga mahir soal berhitung, dia juga dijuluki Mak Pedit,
karena setiap meminjamkan uang kepada temannya akan dikenakan bunga, sungguh
orang yang perhitungan sekali. Tapi itulah teman-temanku, dan aku sendiri? Irama
Melodwi, itulah namaku. “Irama” berarti nada, dan “Melodwi” adalah permainan
kata dari “melodi” dan “dwi” yang artinya alunan nada kedua, karena aku anak
kedua di keluargaku, setidaknya itu yang bapak pernah bilang padaku. Selain
aktif di Paskriba sekolahku, aku pernah mewakili sekolahku hingga tingkat kota,
sungguh menyenangkan. Selain itu aku hobi bernyanyi dan kata teman-temanku,
suaraku bagus dan merdu. Bukan berarti sombong lho.
Kami semua berteman baik sejak kelas 1 SMA, kemana-mana selalu bersama, suka
duka kami cicipi bersama. Dari disanjung oleh satu sekolah hingga ditertawakan
oleh satu sekolah pun pernah kami rasakan. Kalau dibilang sahabat tak abadi,
bisa dibilang benar bisa dibilang salah, apapun pendapat orang, bagiku mereka
adalah sahabatku selama SMA ini. Tapi hubungan persahabatan kami mulai berubah,
sejak kedatangan seorang siswa baru, Raden namanya. Entah kenapa karena seorang
ini, hubungan kami yang tadinya baik-baik saja kini berubah menjadi “tidak
baik-baik” lagi.
Keesokan harinya, saat bel istirahat berbunyi, aku mengajak kedua sahabatku,
Azka dan Meli untuk makan ke kantin. Kebetulan aku belum sarapan, karena
kesiangan lagi. Namun di tempat kami biasa makan, sudah duduk menanti Adel
bersama semangkuk bakso dan segelas es teh di depannya. “Kita telat satu ronde
nih,” kataku.
Dengan segera, aku memesan indomie rebus lengkap dengan telor kesukaanku,
diikuti oleh Azka dan juga Meli. Tak lupa aku memesan es teh manis sebagai
minumannya. Sambil makan, kami mulai larut dalam perbincangan.
“Del, kamu kemana saja sih? Kok gak main sama kita-kita
lagi?” tanyaku.
“Maaf Ra, aku sibuk les piano, soalnya akan ada lomba,
ayahku memintaku untuk meningkatkan latihanku.”
“Lomba? Kapan Del?” tanya Meli.
“Tepatnya dua minggu dari sekarang, di Jakarta, aku
diikutsertakan sama papaku.”
“Pantes saja, jadi kamu latihan setiap hari?”
“Iya Ra, aku gak mau mengecewakan papa.” Aku tersenyum
kepadanya, sungguh Adel adalah seorang yang patuh kepada kedua orangtuanya. Tak
seperti aku.
“Ngomong-ngomong soal lomba, kalian udah denger belum soal
anak baru yang ganteng itu?” sambung Meli. “Aku denger, siswi-siswi di sini
berlomba cari tahu tentang dia lho.”
“Ah kamu ini,” kataku, “Kalo enggak ngomongin hape, pasti
ngomongin cowo, huuu.”
“Ih biarin, emang kamu enggak penasaran apa sama dia?”
“Enggak tuh,” jawabku dingin.
“Huuu, judes amat sih kamu Ra,” balas Meli. Aku hanya
menyendok bakso ke dalam mulutku saja, menurutku apa pentingnya membicarakan
masalah “cowo”.
“Oh ya aku tau,” sambung Azka, “Anak cowo pindahan baru itu
yah? Kalau gak salah namanya...”
“Raden!” jawab Adel secepat kilat. “Itu dia anaknya!”
katanya sambil menunjuk ke arah seberang meja makan kami, terlihat beberapa
anak cowo berjalan ke arah sana, aku kenal beberapa dari mereka. Yang
berkacamata di depan adalah Ubay, terus ketua kelas kami Andra, dibelakangnya
disusul Evan dan wajah yang ini baru kulihat, laki-laki tinggi berkulit cokelat
muda, sudah pasti dia Raden yang dibicarakan.
“Tuh kan ganteng banget,” kata Meli. “Lihat deh badannya
tinggi, mukanya manis dan gayanya itu deh oke banget!”
“Setuju, aku langsung luluh nih,” Kata Adel sejalan dengan
Meli.
“Ih apasih kalian? Biasa aja tuh dia,” jawabku. “Iya kan
Zka?”
“Akan beda ceritanya kalau Raden itu laki-laki yang punya
mobil BMW yang menjemputnya dan selalu traktir siapa saja.”
“Huuu, kamu juga ikut-ikutan mereka.”
Raden, oh ya aku ingat, murid baru pindahan di kelas sebelah. Tempo hari, Bu
Yaya memberitahukannya ketika sedang mengajar, beliau bilang Raden pindahan
dari Jakarta, dan sekarang tinggal di sini untuk bersekolah. “Mohon ya kalian
menerima dia dan membuatnya nyaman di sekolah kita, walau dia tidak sekelas
dengan kalian,” pesan Bu Yaya kepada kami. Sebenarnya aku melihat dia biasa
saja, tapi entah kenapa waktu aku melihat dia seolah matanya menyapa mataku,
atau mungkin aku hanya berlebihan.
Sepulang sekolah, aku dan Azka kembali jalan berdua. Siang itu cukup terik,
jadi aku dan Azka berjalan di balik bayang-bayang gedung sekolah. Aku yang
berjalan tanpa melihat ke depan tiba-tiba, BRUK! Aku menabrak seseorang hingga
tubuhku jatuh ke belakang, Azka segera menolongku.
“Oh, maaf ya, aku tak sengaja...” kataku sambil bangun dan
astaga! Itu Raden! Itu Raden yang aku tabrak baru saja.
“Enggak, enggak, aku yang salah, maaf ya...” katanya dengan
suara yang terdengar lembut di telingaku. Dia mencoba melihat bed namaku untuk
mengetahui siapa yang baru ditabraknya. “Hem, maaf ya... Irama?” katanya.
“Iya, tak apa kok.”
“Aku sedikit meleng tadi,” jelasnya. “Kamu gak apa-apa?”
“Iya, paling Cuma lecet sedikit, sisanya baik-baik aja kok,
iya kan Zka?” kataku kepada Raden.
“Oh, jadi kamu yang bernama Azka?” tanya Raden kepada Azka
yang berdiri di sebelahku. Singkat cerita kami berkenalan dan berbincang
sebentar, Raden adalah anak yang sopan, baik dan halus kepada perempuan. Bahkan
dia menawarkan diri untuk menemani kami pulang, tapi aku menolaknya.
“Lain kali saja ya Den, aku dan Azka mau buru-buru ke
warnet,” jelasku.
“Baik, tak apa kok,” katanya dengan tersenyum. Segera aku
berpamitan dengannya dan menarik tangan temanku, Azka untuk segera berlalu
daripadanya.
“Hei Ra, kok ditolak sih tawarannya? Kan lumayan naik mobil
BMW.”
“Kamu ini, sudahlah biasanya kita pulang jalan kaki juga,
jangan males!” kataku sambil berjalan diikuti langkah dari Azka.
Mungkin sejak saat itu, aku baru menyadari bahwa Raden adalah laki-laki yang
baik, oh tidak apakah aku suka padanya? Baru saja pertama bertemu, aku langsung
teringat terus kepadanya, bagaimana suaranya terdengar atau tatapan matanya
yang berbicara kepadaku. Kenapa ini? Rasanya jantungku berdegup cepat, ingin
rasanya aku ngobrol dengan Raden lagi. Setiap malam, aku dan ketiga sahabatku
itu curhat satu sama lain, tapi kami tidak pernah ngobrol tentang Raden. Jadi
aku rasa aku simpan sendiri saja cerita ini buatku.
Kini setiap pagi aku berjalan menuju kelasku, atau ketika
makan di kantin, pandanganku tertuju pada Raden. Mengapa ia terlihat begitu
baik di mataku? Aku rasa aku menyukai dia. Aku tidak pernah bercerita kepada
siapapun mengenai hal ini, kecuali pada Andra, ketua kelasku. Aku menanyakan
nomor Hp Raden kepadanya, dengan kedok ingin bertanya soal pelajaran Bu Yaya
kemarin. Untung saja Andra tak banyak bertanya, segera setelah itu aku sudah
mendapatkan nomor Hp Raden. “Malam ini aku sms dia ah,” kataku dalam hati.
Waktu menunjukkan pukul setengah 8 malam, rasanya sudah berat kedua mataku.
Kututup saja buku pelajaran sejarah yang sedari tadi kubaca untuk ulangan
besok. Kurebahkan diriku pada ranjang, dan kuambil Hpku. “Ah, aku sms enggak ya
Raden? Gimana kalo enggak dibales?” tanyaku. Aku takut mengganggunya, karena
sejujurnya aku belum kenal dia, mungkin saja ia sudah lupa sama aku. Tapi
akhirnya aku sms dia juga, “Hai Raden, lagi apa? Masih ingat aku, Irama?” Kok
aku jadi berdebar-debar yah? Jadi gugup sendirian, gak salah kan sms begitu
sama seseorang?
Tak lama, Hpku berdering, satu pesan masuk. Segera saja kubuka, dari Raden
ternyata! “Hai juga Irama, iya aku ingat kok, maaf yah soal waktu itu, ada
apa?” tanyanya dalam sms. Kuputuskan untuk berbalas sms dengan dia, mulai dari
hal-hal kecil hingga yang mendalam. Cukup lama kami berdua smsan. Aku jadi
mengetahui, kalau Raden itu pindah ke sini karena ayahnya yang seorang arsitek
sedang dinas di kota ini, tapi dia juga tidak tau sampai kapan akan tinggal
disini. Tak kusadari jam menunjukkan pukul 9 kurang, aku sudah mengantuk berat
rasanya, hingga aku lupa membalas sms darinya kembali.
Hari Sabtu tiba, hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar di sekolahku. Aku
diminta oleh adik kelasku untuk melatih junior-junior Paskibra. Jadi sudah
sejak pukul 7 pagi aku berada di sekolah. Sampai kira-kira jam 9, aku yang
sedang beristirahat, melihat Hpku dan baru menyadari kalau sms dari Raden
semalam belum dibalas. Maka aku mengirimkan pesan kepadanya, “Maaf yah semalam
aku ketiduran, hehehe.” Kami pun mulai smsan lagi, dan aku juga baru tau kalau
Raden tidak ke sekolah hari itu. Dia bersama teman-temannya sedang bermain di
rumah Andra. Cukup lama kami smsan, hingga malam pun masih aku tekuni. Dia itu
tidak membosankan orangnya, asik diajak bicara dan sopan sekali. Aku juga
bercerita kepada ibu mengenai hal ini, ibu hanya berpesan, “Jangan terlalu
terlena dengan laki-laki, kalau sudah jatuh nanti sakit rasanya.”
Sudah satu bulan ini setiap hari aku smsan sama Raden, walau aku masih bermain
dengan Azka, Adel dan Meli, sedikitpun tak pernah aku singgung masalah ini
dengan mereka. Cukup aku saja yang mengetahuinya. Tapi, entah kenapa aku merasa
nyaman sama Raden, apa karena dia baik dan sopan ya? Dia juga terkenal baik di
antara guru. Tetapi aku masih bingung, sebenarnya aku suka sama dia atau tidak?
Ketika di sekolah kami jarang bertemu, karena aku bersama-sama dengan teman-temanku,
sementara dia bersama teman-temannya. Kadang, ketika aku dan teman-teman
melihat dia, dia seolah melirik kepadaku dan tersenyum, atau karena perasaanku
saja ya?
Malam itu, setelah selesai mengerjakan tugas bahasa Inggris, aku kembali sibuk
dengan Hpku. Tapi dari jam makan malam, hingga sudah mengantuk, tidak kuterima
sms dari Raden. Ingin aku mengirim sms kepadanya dan kembali berbincang seperti
biasa, tapi aku malu, dan kenapa harus aku terus yang sms dia duluan? Malam itu
terasa sepi, tanpa sms dari dia yang aku tunggu.
Keesokan harinya, ketika sedang berkumpul dengan teman Paskibra, aku memutuskan
untuk bercerita dengan seorang temanku yang lain. Aku yakin dia tidak bermulut
ember dan bisa menyimpan rahasia ini antara kami berdua.
“Hei, Syahra, bisa ngobrol sebentar?” tanyaku.
Syahra, yang sedang duduk sendirian segera mempersilahkanku,
“Kenapa Ra? Sini duduk disebelahku.”
Kutaruh tasku disebelahku, “Begini, aku bingung mau mulai
cerita darimana sama kamu...”
“Tentang apa Ra? Kamu lagi ada masalah?”
“Bukan, bukan itu. Aku mau ngomong tapi enggak enak, aku
malu.”
“Kenapa harus malu?”
“Janji yah kamu enggak akan ketawa atau bilang ini ke orang
lain?” tanyaku sambil menatap matanya.
“Iya Ra, aku janji, kenapa?”
Lalu aku mulai bercerita kepada Syahra, mulai dari aku
bertabrakan dengan Raden hingga kemarin malam aku tidak smsan dengan dia.
Syahra mendengarkan dengan seksama, hingga aku selesai bercerita, dia
mendengarkannya dengan penuh perhatian dan serius.
“Jadi, gimana menurutmu?” tanyaku.
Syahra tertawa cukup keras. Segera aku menjadi malu, karena beberapa teman dan
junior lainnya melihat ke arahku dan dia. Aku yang diliputi rasa malu dan wajah
yang memerah, ingin segera bangkit darisana dan pergi. Tapi, Syahra menahan
tanganku.
“Eh, eh mau kemana kamu Ra?” cegahnya memegang tanganku.
“Aku belum ngomong apa-apa.”
“Habisnya kamu ngetawain aku begitu sih,” kataku kesal
sambil kembali duduk.
“Maaf, maaf, habisnya kamu lucu sih Ra.”
“Lucu kenapa?”
“Itu artinya kamu suka sama dia, tapi kamu enggak mau
ngakuin kan?” tanya dia kembali. “Kalau ada dia kamu nyaman, kalau lihat dia
kamu suka senyum-senyum sendiri, apa lagi yang kamu tunggu?”
“Maksud kamu yang aku tunggu?” tanyaku penuh keheranan.
“Iya, kamu tunggu apa lagi, tunggu dia nembak kamu gitu Ra?”
“Eh, kok kamu bisa berpikiran begitu?”
“Kamu ini gimana, kalau kamu suka sama dia, buat apa nunggu
lagi? Keburu diambil orang nanti Ra, yang ada kamu nyesel belakangan.”
“Tapi aku kan cewe...” kataku.
“Terus, cewe gak boleh nembak gitu? Kuno amat sih kamu!
Kalau aku jadi kamu sih, aku akan tembak dia segera, dan nyatain perasaan sama
dia. Sebentar lagi valentine nih, aku sih akan beli cokelat terus nyatain
perasaanku sama dia deh, tapi sebelum itu aku cari tau dulu bagaimana perasaan
dia sama kamu.”
“Terus, kalau ternyata dia gak suka sama aku? Setelah aku
nyatain perasaan malah gak bisa sedeket kaya begini gimana dong?”
“Ra, Ra, kamu ini terlalu medok ya? Soal diterima atau enggaknya
itu belakangan, yang penting kamu enggak sakit nahan perasaan yang kamu miliki
buat dia, setelah nyatain kamu akan lega, soal nantinya itu terserah dia mau
jawab apa kan?”
Memang benar kata temanku ini, aku memang tak bisa menyimpan perasaan ini lebih
lama lagi. Rasanya bercampur aduk antara suka, khawatir, takut dan
penasarannya. Syahra benar, aku harus menyatakan perasaan ini, aku harus
berani. Setidaknya itu yang ada di pikiranku sekarang. Tapi bagaimana nanti aku
bercerita sama Azka, Adel dan Meli? Mereka mendukungku atau tidak.
Malam pun kembali tiba, bintang-bintang bersinar kelap-kelip di angkasa, dengan
sang rembulan mengawasi setiap gerakannya. Waktu telah menunjukkan pukul 8,
lagi-lagi kesepian menghantuiku. Rasa bosan mendekapku dalam, karena tak ada
sms dari Raden, hanya sms dari Azka yang menanyakan ulangan besok dan sms dari
Meli yang membicarakan hape barunya. “Ayo dong Den, kamu kemana? Sms aku dong.”
Beberapa menit setelahnya, hpku berdering, memecah kesunyian malam. Segera aku
melompat dari ranjangku dan membuka sms itu. Dari Raden! Astaga telah
kunantikan sms dari dia, namun kali ini bukan sms seperti biasa, dia
mengirimkan sepotong puisi kepadaku dengan judul Semanis Lautan Madu, yang
cukup panjang juga. Begitu menyentuh kata-kata yang ia kirimkan, setelah itu
aku segera membalas sms darinya, “Puisinya bagus Den.” Setelah itu kami kembali
smsan hingga larut malam, betapa senangnya aku bisa kembali smsan dengan dia.
Aku bertanya kemana dia dua hari ini baru bisa sms sekarang, dia berkata bahwa
dia sedang sibuk dengan tugas-tugas, seolah mengiyakan aku juga menjawab bahwa
tugas-tugas pelajar sekarang sangat membebani. Aku pun seperti biasa, tertidur
duluan.
Hari Valentine tinggal beberapa hari lagi, tak sabar rasanya aku memberikan
hadiah sekotak cokelat kepada Raden, sekaligus untuk menyatakan perasaanku
kepadanya. Saat itu, seperti biasanya kami ber-empat duduk di kantin dan
ngobrol. Kali ini senyuman terus menghiasi wajahku.
“Duh, si Ira baru dapat bonus dari ortunya nih,” kata Meli
memulai pembicaraan.
“Iya, daritadi senyum-senyum terus, bonusnya banyak yah Ra?
Traktir kita-kita dong,” pinta Azka.
“Ih apasih kalian? Enggak kok, aku lagi seneng aja,”
jawabku.
“Seneng kenapa sih?” tanya Meli.
“Ada deh pokoknya.”
“Tapi, dibalik senyummu ada yang cemberut tuh,” kata Azka
sambil melirik ke arah Adel. Adel terlihat diam saja, dengan wajah yang tidak
seceria Adel yang biasa.
“Kamu kenapa Del?” tanyaku.
“Enggak kenapa-kenapa kok, cuma cape aja,” jawabnya singkat.
“Yakin? Kamu gak seperti biasanya Del.”
“Enggak kenapa-kenapa kok temen-temen, sudah ya aku duluan
ke kelas,” katanya seraya meninggalkan kami bertiga. Aneh, pikirku. Adel yang
biasanya ceria, kini menjadi pendiam.
“Ada apa ya sama Adel?” tanya Meli.
“Tau deh, mungkin dia lagi males ngomong sama kita-kita, aku
denger-denger Adel lagi suka sama seseorang,” jelas Azka.
“Sama siapa Zka?” tanyaku.
“Tau deh, coba aja kamu cari tau.”
“Hah sudah, daripada ngomongin Adel, gimana kalau kalian
temenin aku nanti pulang sekolah? Mau nggak?” tanya Meli.
“Kemana Mel?” tanya Azka, “Kayaknya aku enggak bisa deh,
soalnya mamaku ngajak aku jalan-jalan sore nanti.
“Ih, kamu kok begitu sih Azka, aku mau beli hadiah buat
adikku, kalo kamu gimana Ra?” tanyanya kepadaku. “Bisa kan temenin aku?”
“Duh maaf ya Mel,” jawabku, “Nanti sore aku mau ke dokter
gigi sama ibu, aku udah janji jauh-jauh hari.” Sebenarnya, sore nanti aku mau
membelikan cokelat sebagai hadiah untuk Raden. Aku terpaksa berbohong sama
teman-temanku.
“Yaudah deh, aku sendiri aja,” kata Meli.
Baru kali ini aku menolak ajakan teman-temanku, untuk
seorang cowo. Aku rela meninggalkan waktu bersama teman-teman, hanya untuk
membelikan hadiah untuk Raden. Tetapi inilah kata hatiku, aku tidak dengan
teman-temanku, akan tetapi ini harus aku lakukan. Sesekali saja aku mengikuti
apa yang hatiku katakan.
Maka sore harinya, setelah izin kepada ayah dan ibu, aku pergi sendirian ke
mall di dekat rumahku. Sambil melirik-lirik setiap toko kue dan cokelat yang
ada disana, aku memilih cokelat yang baik untuk hadiah. Langkahku terhenti di
sebuah toko cokelat kecil di lantai tiga, tepat di sebelah toko buku. Aku
membeli sekotak cokelat berbentuk hati, yang menggambarkan perasaan hatiku untuk
Raden. “Semoga dia suka,” kataku dalam hati lalu aku berjalan pulang
meninggalkan toko tersebut.
Hari yang kunantikan telah tiba, hari Valentine yang penuh dengan nuansa cinta.
Walau aku bukan seorang perempuan yang terlalu “feminim” tapi untuk acara malam
ini, aku memilih untuk berdandan. Tepat hari Sabtu, malam minggu, akan diadakan
acara rapat perpisahan untuk kelas 3, dan aku termasuk salah seorang panitia
kelas. Raden pun akan datang, dan kesempatan ini akan aku manfaatkan untuk
menyatakan perasaanku kepadanya. Kalau tidak salah, rapat dimulai jam setengah
tujuh malam, aku segera menyiapkan kotak cokelat yang kubungkus rapi dengan
pita berwarna merah dan kumasukkan ke dalam tasku. Hanya dengan memakai kaos
coklat dan jeans, beserta bando favoritku, aku segera melangkahkan kaki menuju
sekolahku.
Jam tanganku menunjukkan pukul 6.20 tepat, ketika aku tiba di pintu gerbang.
Ketika berjalan masuk, aku melihat motor Meli diparkirkan di parkiran sekolah,
apa yang dia lakukan sesore ini di sekolah, pikirku. Ah sudah tak usah ambil
pusing soal dia. Aku berjalan melewati lapangan dan kudapati Azka yang baru
selesai latihan karate, dia hanya melambaikan tangannya dari kejauhan. Kubalas
lambaian tangannya itu. Tetapi, sudah sesore ini, kenapa dia belum pulang?
Setahuku, latihan karate telah selesai setengah jam yang lalu. Tapi sudahlah,
kenapa aku malah memikirkan dia?
Aku segera berjalan ke arah aula untuk berkumpul dengan yang lainnya. Disana
sudah ada beberapa teman yang telah tiba, dan Raden pun sudah disana. Aku duduk
di dekat pintu keluar, dan mengamati dirinya dari kejauhan, sayangnya aku tidak
bisa mendekat saat itu. Dia terlihat sedang bercengkrama dengan beberapa
temannya.
Rapat dimulai, semua siswa dan siswi segera duduk berkumpul membentuk lingkaran.
Aku dan Raden tepat duduk berhadapan, bergetar rasanya hatiku ketika menatap
matanya. Dia tersenyum kembali ketika melihatku. Antara ragu dan yakin, untuk
mengatakan perasaan yang sebenarnya. Rapat dibuka oleh ketua panitia, dan rapat
itu berlangsung semu. Waktu berjalan sangat lambat bagiku, satu menit bagaikan
satu jam rasanya. Tanpa berpikir ke arah rapat, aku hanya berpikir kata-kata
apa yang cocok untuk kusampaikan kepada Raden nanti.
Rapat selesai tepat pukul 7.15 malam, yang menghasilkan
ketidaksetujuan. Panitia yang hadir belum dapat menemukan titik temu antara
pendapat-pendapat yang masuk, sehingga rapat ditunda dan akan dilaksanakan
segera setelah pengumuman diberikan. Ini saatnya, kataku. Setelah melihat
suasana agak sepi, aku yang sudah dari tadi menanti di intu gerbang, menunggu
Raden untuk berjalan keluar. Kotak cokelat itu masih kusimpan di dalam tasku.
“Aku harap dia menyukainya, tetapi dia mau enggak ya?” tanyaku berulang-ulang
dalam hati, gusar rasanya menanti ketidakpastian ini. Setelah lima belas menit
menunggu, akhirnya keluarlah Raden dari dalam. Segera aku menghampirinya.
“Hei, Raden,” sapaku dengan senyuman.
“Oh hei Ira, lagi apa kamu disini? Belum pulang?” tanyanya
agak terkejut.
“Iya, aku lagi nunggu seseorang,” kataku malu-malu.
“Oh ya? Siapa yang kamu tunggu?”
“Kamu Raden.”
“Aku? Kamu nunggu aku? Ada apa memangnya?”
Jantungku berdegup kencang, seperti mobil balap yang sedang
berpacu menuju garis finish. Tak ada waktu untuk mundur lagi, sekaranglah waktu
untuk mengatakannya.
“Sebenernya, aku... sebenernya...”
“Ya, apa sebenernya Ra?” tanyanya dengan halus. Sungguh
membuat bulu romaku berdiri.
“Den, aku... aku suka sama kamu...” kataku terputus-putus.
Rasanya jantungku semakin berdetak cepat. “Sudah lama, ya sudah lama.... aku
ingin mengatakan itu, aku... aku suka sama kamu Den. Ini... ini untuk kamu...”
kataku seraya memberikan sekotak cokelat dari dalam tasku kepadanya.
Raden yang pandangannya penuh kelembutan, mendadak terdiam.
Matanya membelalak seakan kaget, dan mulutnya mulai terbuka lebar. Dia tertawa
dengan kencang.
“Hahahaha, kenapa rupanya kalian ini?” katanya sambil
tertawa.
Aku agak kaget, yang tadinya jantungku berdegup kencang,
kini menjadi hilang ketegangan itu. Kini aku merasa kesal bercampur malu.
“Kenapa? Kenapa kamu tertawa Den? Memangnya lucu yah?”
Raden masih saja tertawa. “Hahaha, dengarkan. Dengarkan aku
dulu Ira, pertama, aku ini sudah memiliki pacar, kedua, aku hanya menganggapmu
sebagai teman, janganlah kamu beranggapan lebih, dan ketiga...”
Entah mengapa aku tidak kaget mendengar hal itu, apa karena
aku telah menyatakan perasaanku kepadanya? Atau karena aku berhasil menebak apa
yang akan dia katakan.
“Apa yang ketiga?” tanyaku penasaran.
“Hari ini kamu adalah perempuan ke-empat yang menembak aku
dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya...”
“Hah?” kataku kaget. “Maksud kamu?”
“Itu lihatlah di dalam,” katanya menunjuk ke arah lapangan
sekolah. Disana aku melihat ketiga sahabatku, Azka, Adel dan Meli sedang
berdiri di pinggir lapangan.
“Sekali lagi maaf ya Ra, aku tak menganggapmu lebih.”
“Oh, ya tak apa, maafkan aku juga.” Lalu aku pamit kepada
Raden, sejujurnya aku tidak sedih, tidak kecewa dan juga tidak senang. Hanya
saja aku merasa sangat lega, karena telah menyatakan perasaanku kepadanya.
Mungkin Raden bukan pilihan yang tepat untukku.
Aku segera berlari menuju ke arah sahabat-sahabatku itu.
Terlihat Meli dan Azka sedang duduk bersama Adel yang tertunduk diam. Aku
menghampirinya, “Hei, sedang apa kalian disini?”
Kaget dengan kehadiranku, Meli dan Azka segera bangkit
berdiri, sementara Adel yang tadinya tertunduk diam segera melirik ke arahku,
menghapus air matanya dan berhenti menangis. “Kamu kenapa Del?” tanyaku.
“Lho? Kamu juga rupanya?” tanya Meli.
“Juga apanya?” tanyaku kembali.
“Raden,” kata Adel yang masih merah matanya. “Kamu juga
ditolak sama Raden kan?”
Aku diam sejenak, jangan-jangan ketiga sahabatku ini juga
berpikiran yang sama seperti aku. “Tunggu sebentar... jadi kalian juga?”
Mereka bertiga mengangguk. Kemudian aku mulai tertawa dengan keras. Ketiga
sahabatku itu melihatku penuh keheranan. “Kenapa kamu Ra?” tanya Azka.
“Hahaha lucu yah, kita semua begini, gara-gara Raden
seorang...” jawabku.
“Ya, karena seorang cowo, kita semua jadi tidak sedekat
dulu,” sambung Meli. “Maafkan aku ya teman.”
“Aku juga,” susul Azka. “Bodohnya kita berlomba-lomba
mendapatkan hati satu orang laki-laki, toh cowo yang ganteng dan tajir tidak
hanya dia kok.”
“Setuju!” sambung Meli.
“Aku juga ya teman,” kataku sambil merangkul ketiga
sahabatku itu. “Maafkan kalian selama ini aku diam saja dan tidak bercerita,
bahkan aku berbohong kepada kalian.”
Meli tersenyum padaku, begitu juga Azka. Namun Adel masih
terlihat sedih. “Sudahlah Del,” kataku, “Kamu itu cantik, banyak cowo lain yang
suka sama kamu.”
Adel kembali tersenyum dan mendekapku kini. “Kamu benar Ra,
aku bodoh ya menangis untuk hal yang tidak diperlukan.”
“Mungkin kita semua bodoh ya,” kataku kepada mereka. “Karena
Raden kita jadi begini dan melupakan persahabatan kita, mulai saat ini, ayo
kita lupakan sejenak masalah cowo dan kembali bersama-sama lagi seperti dulu.”
“Kau benar, aku setuju,” kata Meli diikuti yang lainnya.
Kemudian kami tertawa bersama karena menyadari kekeliruan kami. Meninggalkan
sahabat untuk seorang lelaki? Tidak akan pernah lagi.
“Sebentar Ra, terus cokelat ini buat apa?” tanya Meli.
“Kalian masing-masing bawa satu kan?” Kami semua mengangguk.
Aku memutar otakku sebentar dan mendapatkan ide yang baik.
“Begini saja, bagaimana kalau kita makan cokelat yang kita punya bersama-sama?
Itulah arti sahabat yang sesungguhnya, cokelat persahabatan sebagai hadiah
terindah di hari Valentine ini, hari kasih sayang sahabat.” Mereka semua
setuju, dan kami pun bertukaran cokelat dan memakannya bersama-sama. Inilah
makna Valentine yang sesungguhnya, bukanlah cinta, bukanlah cokelat, akan
tetapi kehadiran kita sebagai seorang sahabat yang selalu dibutuhkan bagi orang
lain.
Seminggu setelahnya, kami sudah berteman baik kembali bahkan
semakin dekat. Soal Raden? Ya, biarlah dia mengurus urusannya sendiri. Aku dan
Raden hanya berteman saja kini. Tetapi aku, Azka, Adel dan Meli adalah sahabat
selamanya. Janji kami disaksikan oleh “sahabat cokelat”.
Siang itu ketika istirahat, kami ber-empat kembali makan di
kantin. Sedang asyik-asyiknya makan datanglah Syahra bergabung bersama kami.
“Eh, kalian sudah dengar cerita baru belum?” Aku mengangkat bahuku
mendengarnya.
“Apa memangnya?” tanyaku.
“Itu lho, murid pindahan baru, Edo namanya, ganteng dan
manis banget, tuh orangnya,” katanya kembali. Kami ber-empat segera melirik
satu sama lain, dan kemudian berkata, “Enggak akan kena lagi tuh!” Lalu kami
tertawa bersama. Syahra hanya heran melihatnya.